Cari Blog Ini

Kamis, 20 Oktober 2011

Stuck In The Moment

Whooaaaaaaa
Hahahahahah

Sistem Komunikasi Indonesia


MEDIA TRADISIONAL

Pengertian Media Tradisional
Dongeng adalah salah satu media tradisional yang pernah popular di Indonesia. Pada masa silam, kesempatan untuk mendengarkan dongeng tersebut selalu ada, karena merupakan bagian dari kebudayaan lisan di Indonesia. Bagi para ibu mendongeng merupakan cara berkomunikasi dengan putra-putri mereka, terutama untuk menanamkan nilai-nilai sosial, yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Di berbagai daerah di Indonesia, media komunikasi tradisional tampil dalam berbagai bentuk dan sifat, sejalan dengan variasi kebudayaan yang ada di daerah-daerah itu. Misalnya, tudung sipulung (duduk bersama), ma’bulo sibatang (kumpul bersama dalam sebuah pondok bambu) di Sulawesi Selatan (Abdul Muis, 1984) dan selapanan (peringatan pada hari ke-35 kelahiran) di Jawa Tengah, boleh dikemukan sebagai beberapa contoh media tradisional di kedua daerah ini. Di samping itu, boleh juga ditunjukkan sebuah instrumen tradisional seperti kentongan yang masih banyak digunakan di Jawa. Instrumen ini dapat digunakan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan yang mengandung makna yang berbeda, seperti adanya kematian, kecelakaan, kebakaran, pencurian dan sebagainya, kepada seluruh warga masyarakat desa, jika ia dibunyikan dengan irama-irama tertentu.
Media tradisional dikenal juga sebagai media rakyat. Dalam pengertian yang lebih sempit, media ini sering juga disebut sebagai kesenian rakyat. Dalam kaitan itu, Coseteng dan Nemenzo (Fernandez, 1982) mendefinisikan secara komprehensif, bahwa media tradisional sebagai “bentuk-bentuk (gabungan pesan) verbal, gerakan, lisan, dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan atau untuk mereka dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar dan mendidik.
Sejalan dengan definisi ini, maka media rakyat tampil dalam bentuk nyayian rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat- yaitu semua kesenian rakyat apakah berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan- yang diteruskan dari generasi ke generasi (Clavel dalam Jahi, 1988).

Jenis-jenis media tradisional
Nurudin (2004) mengatakan bahwa membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan dari seni tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita-cerita rakyat dengan memakai media tradisional. Media tradisional sering disebut sebagai bentuk folklor. Bentuk-bentuk folklor tersebut antara lain:
a.       Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng);
b.      Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah);
c.       Puisi rakyat;
d.      Nyayian rakyat;
e.       Teater rakyat;
f.       Gerak isyarat (memicingkan mata tanda cinta);
g.      Alat pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan
h.      Alat bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan lain-lain).
Ditinjau dari aktualitasinya, ada seni tradisional seperti wayang purwa, wayang golek, ludruk, kethoprak, dan sebagainya. Saat ini media tradisional telah mengalami transformasi dengan media massa modern. Dengan kata lain, ia tidak lagi dimunculkan secra apa adanya, melainkan sudah masuk ke media televisi (transformasi) dengan segala penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional wayang kulit yang disiarkan oleh oleh suatu televisi swasta.

Fungsi Media Tradisional
William Boscon (dalam Nurudin, 2004) mengemukakan fungsi-fungsi pokok folklor sebagai media tradisional adalah sebagai berikut                                               :
1.      Sebagai sistem proyeksi. Folklor menjadi proyeksi angan-angan atau impian rakyat jelata, atau sebagai alat pemuasan impian (wish fulfilment) masyarakat yang termanifestasikan dalam bentuk stereotipe dongeng. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini hanya rekaan tentang angan-angan seorang gadis desa yang jujur, lugu, menerima apa adanya meskipun diperlakukan buruk oleh saudara dan ibu tirinya, namun pada akhirnya berhasil menikah dengan seorang raja, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
2.      Sebagai penguat adat. Cerita Nyi Roro Kidul di daerah Yogyakarta dapat menguatkan adat (bahkan kekuasaan) raja Mataram. Seseorang harus dihormati karena mempunyai kekuatan luar biasa yang ditunjukkan dari kemapuannya memperistri ”makhluk halus”. Rakyat tidak boleh menentang raja, sebaliknya rasa hormat rakyat pada pemimpinnya harus dipelihara. Cerita ini masih diyakini masyarakat, terlihat ketika masyarakat terlibat upacara labuhan (sesaji kepada makhluk halus) di Pantai Parang Kusumo.
3.      Sebagai alat pendidik. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
4.      Sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat dipatuhi. Cerita ”katak yang congkak” dapat dimaknai sebai alat pemaksa dan pengendalian sosial terhadap norma dan nilai masyarakat. Cerita ini menyindir kepada orang yang banyak bicara namun sedikit kerja.
Sifat kerakyatan bentuk kesenian ini menunjukkan bahwa ia berakar pada kebudayaan rakyat yang hidup di lingkungannya. Pertunjukkan-pertunjukkan semacam ini biasanya sangat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan. Dalam penyajiannya, pertunjukkan iniini biasanya diiringi oleh musik daerah setempat (Direktorat Penerangan Rakyat, dalam Jahi, 1988).
Eapen (dalam Jahi, 1988) menyatakan bahwa media ini secara komparatif murah. Ia tidak perlu diimpor, karena milik komunitas. Di samping itu, media ini tidak akan menimbulkan ancaman kolonialisme kebudayaan dan dominasi ideologi asing. Terlebih lagi, kredibilitas lebih besar karana ia mempertunjukkan kebolehan orang-orang setempat dan membawa pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari pemerintah pusat. Media rakyat ini bersifat egaliter, sehingga dapat menyalurkan pesan-pesan kerakyatan dengan lebih baik daripada surat kabar yang bersifat elit, film, radio, dan televisi yang ada sekarang ini.
Sifat-sifat umum media tradisional ini, antara lain mudah diterima, relevan dengan budaya yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legitimasi, fleksibel, memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan yang dibawanya, komunikasi dua arah, dan sebagainya. 

Keberadaan Media Tradisional
Pada masa silam, media tradisional pernah menjadi perangkat komunikasi sosial yang penting. Kini penampilannya dalam masyarakat telah surut. Di Filipina, Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini antara lain karena:
1. Diperkenalkannya media massa dan media hiburan modern seperti media cetak, bioskop, radio, dan televisi.
2. Penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya penggunaan dan penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.
3. Semakin berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat pada pengembangan media tradisional ini, dan
4. Berubahnya selera generasi muda.
Di Indonesia, situasinya kurang lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan sandiwara rakyat yang masih hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya mengadakan pertunjukkan keliling di desa-desa, ternyata kurang mendapat penonton, setelah televisi masuk ke desa. Hal ini, mencerminkan bahwa persaingan media tradisional dan media modern menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah masyarakat desa mulai mengenal media hiburan modern seperti kaset video.
Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang, terutama setelah banyak warga masyarakat menguasai bahasa Indonesia. Di pihak lain, jumlah para seniman yang menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun semakin berkurang. Generasi baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan khalayak ini. 

Peran Media Tradisional dalam Sistem Komunikasi
Media tradisional mempunyai nilai yang tinggi dalam sitem komunikasi karena memiliki posisi khusus dalam sistem suatu budaya. Kespesifikan tanda-tanda informasi yang dilontarkan dalam pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itu maupun konteks kejadian, mengakibatkan orang-orang berasal dari sistem budaya lain sulit menyadari, memahami, dan menghayati ekspresi kesenian yang bersifat verbal, material, maupun musik yang ditampilkan (Compton, 1984).
Kesulitan tersebut berasal dari kerumitan untuk memahami tanda-tanda nonverbal yang ditampilkan, yang umumnya tidak kita sadari. Demikian juga dengan tidak memadainya latar belakang kita untuk memahami simbolisme religi dan mitologi yang hidup disuatu daerah, tempat pertunjukan tradisional itu terjadi.
Sebagian dari media rakyat ini, meskipun bersifat hiburan dapat juga membawa pesan-pesan pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena media tersebut juga menjalankan fungsi pendidikan pada khalayaknya. Oleh karena itu, ia dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada khalayak(warga masyarakat). Ia dapat juga menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan falsafah sosial (Budidhisantosa, dalam Amri Jahi 1988).
Walaupun demikian, bertolak belakang dengan keoptimisan ini, para ahli memperingatkan bahwa tidak seluruh media tradisional cukup fleksibel untuk digunakan bagi maksud-maksud pembangunan. Karena memadukan yang lama dan yang baru tidak selamanya dapat dilakukan dengan baik. Kadang-kadang hal semacam ini malah merusak media itu, sehingga kita harus waspada (Dissanayake, 1977). Masalah-masalah dihadapi dalam penggunaan seni pertunjukkan tradisional untuk maksud pembangunan, sebanrnya ialah bagaimana menjaga agar media tersebut tidak mengalami kerusakan. Oleh karena pertunjukkan tradisional ini memadukan berbagai unsur kesenian yang bernilai tinggi, yang menuntut kecanggihan maka dukungan seni sangat penting dalam medesain pesan-pesan pembangunan yang akan disampaikan (Siswoyo, dalam Amri Jahi 1988).
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi dalam menyesuaikan penggunaan media tradisional bagi kepentingan pembangunan, riset menunjukkan bahwa hal itu masih mungkin dilakukan. Pesan-pesan pembangunan dapat disisipkan pada pertunjukkan-pertunjukkan yang mengandung percakapan, baik yang bersifat monolog maupun dialog, dan yang tidak secara kaku terikat pada alur cerita. Wayang misalnya, salah satu pertunjukkan tradisional yang terdapat di jawa, Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia, yang dapat dimanfaatkan sebagai media penerangan pembangunan. Pertunjukkan biasanya menampilkan episode-episode cerita kepahlawanan Hindu seperti Ramayana dan Mahabarata. Pertunjukkan wayang biasanya disampaikan dalam bahasa daera misalnya bahasa jawa, Sunda, atau Bali yang diiringi nyanyian dan musik yang spesifik. Bagi orang-orang tua yang masih tradisional, wayang lebih daripada sekedar hiburan. Mereka menganggap wayang sebagai perwujudan moral, sikap, dan kehidupan mistik yang sakral. Pertunjukkan tersebut selalu menekankan perjuangan yang baik melawan yang buruk. Biasanya yang baik setelah mkelalui perjuangabn yang panjang dan melelahkan akan mendapat kemenangan. Disamping itu moralitas wayang mengajarkan juga cara memperoleh pengetahuan, kedamaian pikiran, dan sikap positif yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Episode-episode cerita wayang cukup ketat. Namun, pesan-pesan pembangunan masih dapat disisipkan dalam dialog-dialog yang dilakukan. Banyak episode wayang yang dapat dipilih dan dipertunjukkan dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Misalnya, untuk menumbuhkan semangat rakyat dalam perang kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, integrasi bangsa, dan sebagainya. Pada zaman revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) Departemen Penerangan menciptakan wayang suluh untuk melancarkan kampanye perjuangan. Mereka menampilkan tokoh-tokoh kontemporer seperti petani, kepala desa, pejuang, serdadu Belanda, Presiden Sukarno, dan sebagainya. Wayang suluh ini, pada dasarnya, menceritakan perjuangan para pemimpin dan rakyat Indonesia menuju Kemerdekaan.




DAFTAR PUSTAKA
Ø  Abdul Muis, 1984, Communicating New Ideas to Traditional Villagers: an Indonesian Case, Media Asia 11
Ø  Amri Jahi, 1988, Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga, PT Gramedia, Jakarta
Ø  Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Ø  Ranganath, 1976, Telling the People Tell Themselves, Media Asia 3

Minggu, 09 Oktober 2011

WEDDING



onde mande cantiknyo yoooo............


ampun deh pengantenya calananya melorot ckckckckck.....


Hhahahah bisa kali tahun depan w yang jadi pengantenya


Tim sukses.....



 Bhagianyaaaaa...Penggeeeeennnn huhuhuh



NARSIIIISSSS





Rabu, 05 Oktober 2011

Psikologi Komunikasi dan Tabligh


System Komunikasi interpersonal 2
Berfikir, Proses Berfikir dan Merancang Strategi Pesan

  1. Pengertian
System komunikasi interpersonal yang keempat adalah berfikir. Dalam berfikir kita melibatkan keempat proses tersebut yaitu : sensasi, presepsi, dan memori.
Di bawah ini ada beberapa buah titik dengan susunan sebagai berikut :
.       .       .
.       .       .
.       .       .
Tugas anda ialah menghubungkan kesembilah buah titik dengan empat buah garis, dan dalam membuat garis tersebut anda tidak boleh mengangkat alat yang digunakan.
Mula-mula tentu anda menangkap tulisan dan gambar titik-titik(sensasi). Kemudian anda membaca dan mencoba memahami apa yang saya minta(presepsi). Pada saat itu sebetulnya anda juga membokar memori anda untuk memahami apa yang disebut garis lurus, segi empat, dan kemungkinan soal yang sama pada waktu yang lalu (memori).
Bila anda belum pernah mencobanya, cobalah! Anda mungkin gagal pada percobaan yang pertama. Sebelum percobaan kedua, anda akan memandang titik itu lagi. Dalam benak anda, anda membayangkan berbagai cara menarik garis lurus. Masih juga ada titik yang terlewat. Untuk mencoba setiap kemungkinan jawaban , anda tidak perlu membuat lagi titik-titik itu. Anda tinggal mebayangkanya dalam benak anda. Anda menggunakan gambaran dalam fikiran. Gambaran ini disebut images atau citra oleh Mark(1976) dan Coon(1977); disebut juga graphic symbols atau lambang grafis (Funch, 1967).
Satu contoh lagi. Andai anda melakukan korupsi sebanyak 4milyar rupiah. Setiap hari anda membelanjakan seratus ribu rupiah. Dalam berapa tahun uang anda akan habis??cukupkah hasil korupsi itu untuk dinikmati seumur hidup abda atau bahkan keturunan anda?? Untuk menjawab pertanyaan ini anda tidak menggunakan citra. Anda memakai angka, bagi, kali, jumlah dan kurang. Ini kita sebut dengan lambing symbol (verbal simbol).
Menurut Paul Mussen dan Mark R. Rosenzweig, “The term ‘thinking refres to many kind of activities that involve the manipulation of concept and smybol, representations of objek and event”. Jadi berfikir menunjukan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambing, sebagai pengganti objek dan pristiwa.

  1. Macam-macam Berfikir
Secara garis besar ada dua macam berpikir : berpikir autistik dan berpikir realistik. Yang pertama mungkin lebih tepat disebut melamun. Sementara berpikir realistik, disebut juga nalar (reasoning), ialah berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata.  Berpikir autistik: contoh berpikir autistik antara lain adalah
mengkhayal, fantasi atau wishful thinking. Dengan berpikir autistic seseorang melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis. Berpikir realistic : berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata, biasanya disebut dengan nalar (reasoning).
Floyd L.Ruch menyebut tiga macam berpikir realistik: deduktif, induktif, evaluatif (Ruch, 1967:336).
  1. Berfikir deduktif ialah mengambil kesimpulan dari dua peryataan; yang pertama merupakan pernyataan umum. Dalam logika, ini disebut silogisme. Contohnya ialah; “Semua manusia bakal mati”. “Anggodo manusia”. “Jadi, Anggodo bakal mati.” Berfikir deduktif dapat dirumuskan, “Jika A benar, dan B benar, maka akan terjadi C.” Jika semua mahasiswa belajar di perguruan tinggi, dan tobing mahasiswa, maka pasti tobing belajar di perguruan tinggi. Dalam berfikir deduktif, kita mulai dari hal -hal yang umum pada hal-hal yang khusus.
  2. Berfikir Induktif sebaliknya, dimulai dari hal-hal yang khusus dan kemudian mengambil kesimpulan umum; kita melakukan generalisasi. Saya bertemu dengan firman, mahasiswa FIKOM. Ia pandai bicara. Saya berjumpa dengan aya, kiki, adi; semuanya mahasiswa FIKOM pandai bicara. Jadi saya menyimpulkan semua mahasiswa FIKOM dan pandai bicara. Ketepatan berfikir induktif bergantung pada memadainya kasus yang dijadikan dasar. Misalnya, apakah lima orang mahasiswa FIKOM cukup untuk dijadikan sampel yang representatif.
  3. Berfikir evaluatif ialah berfikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan. Dalam berfikir evaluatif, kita tidak menambah atau mengurangi gagasan. Kita menilainya menurut kriteria tertentu.

  1. Menetapkan Keputusan
 Salah satu fungsi berpikir adalah menetapkan keputusan. Keputusan yang kita ambil beragam. Akan tetapi ada tanda-tanda umunya diantaranya :
  1. Keputusan merupakan hasil berpikir,hasil usaha intelektual
  2. Keputusan selalu melibatkan pilihan dariberbagai alternative
  3. Keputusan selalu melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaanya boleh ditangguhkan atau dilupakan
Contoh : setiap keputusan yang diambil, akan disusul oleh keputusan-keputusan lainya yang berkaitan. Ketika anda memutuskan untuk belajar ke luar negri anda juga harus memutuskan untuk tidak menikah dulu, untuk meninggalkan keluarga, untuk hidup sendiri di rantau, dan lainya.

  1. Memecahkan Persoalan (Problem Solving)
Proses memecahkan persoalan berlangsung melalui lima tahap :
  1. Terjadi peristiwa ketika perilaku yang biasa dihambat Karena sebab-sebab tertentu.
  2. Anda mencoba menggali memori anda untuk mengatahui cara apa saja yang efektif pada masa lalu.
  3. pada tahap ini, anda mencoba seluruh kemungkinan pemecahan yang pernah anda ingat atau yang dapat anda pikirkan.
  4. Anda mulai menggunakan lambing-lambang verbal atau grafis untuk mengatasi masalah.
  5. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran anda suatu pemecahan. Pemecahan masalah ini biasa disebut Aha-Erlebnis (Pengalaman Aha), atau lebih lazim disebut insight solution.
Pemecahan masalah dipengaruhi faktor-faktrot situasional dan personal. Faktor-faktor situasional terjadi, misalnya, pada stimulus yang menimbulkan masalah. Pengaruh faktor-faktor biologis dan sosio psikologis terhadap proses pemecahan masalah. Contohnya :
  1. Motivasi. Motivasi yang rendah lebih mengalihkan perhatian. Motivasi yang tinggi membatasi fleksibilitas.
  2. Kepercayaan dan sikap yang salah. Asumsi yang salah dapat menyesatkan kita.
  3. Kebiasaan. Kecenderungan untuk memertahankan pole berpikir tertentu, atau misalnya melihat masalah dari satu sisi saja, atau kepercayaan yang berlebihan dan tanpa kritis pada pendapat otoritas, mengahambat pemecahan masalah yang efisien.
  4. Emosi. Dalam menghadapi berbagai situasi, kita tanpa sadar sering terlibat secara emosional. Emosi mewarnai cara berpikir kita. Kita tidak pernah berpikir betul-betul secara objektif.

E.     Berpikir Kreatif (Creative Thinking)
Berpikir kreatif menurut James C. Coleman dan Coustance L. Hammen, adalah “thinking which produces new methods, new concepts, new understanding, new invebtions, new work of art.” Berpikir kreatif harus memenui tiga syarat:
  1. Kreativitas melibatkan respons atau gagasan yang baru, atau yang secara statistic sangat jarang terjadi. Tetapi kebauran saja tidak cukup.
  2. Kreativitas ialah dapat memecahkan persoalan secara realistis.
  3. Kreativitas merupakan usaha untuk memertahankan insight yang orisinal, menilai dan mengembangkannya sebaik mungkin.
Ketika orang berpikir kreatif, cara berpikir yang digunakan adalah berpikir analogis. Guilford membedakan antara berpikir kreatif dan tak kreatif dengan konsep konvergen dan divergen. Kata Guilford, orang kreatif ditandai dengan cara berpikir divergen. Yakni, mencoba menghasilkan sejumlah kemungkinan jawaban. Berpikir konvergen erat kaitannya dengan kecerdasan, sedangkan divergen kreativitas.
Proses Berpikir Kreatif
Para psikolog menyebutkan lima tahap berpikir kreatif :
  1. Orientasi : Masalah dirumuskan, dan aspek-aspek masalah diidentifikasi
  2. Preparasi : Pikiran berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan dengan masalah.
  3. Inkubasi : Pikiran beristirahat sebentar, ketika berbagai pemecahan berhadapan dengan jalan buntu. Pada tahap ini, proses pemecahan masalah berlangsung terus dalam jiwa bawah sadar kita.
  4. Iluminasi : Masa Inkubasi berakhir ketika pemikir memperoleh semacam ilham, serangkaian insight yang memecahkan masalah. Ini menimbulkan Aha Erlebnis.
  5. Verifikasi : Tahap terakhir untuk menguji dan secara kritis menilai pemecahan masalah yang diajukan pada tahan keempat.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif tumbuh subur bila ditunjang oleh faktor personal dan situasional. Menurut Coleman dan Hammen, faktor yang secara umum menandai orang-orang kreatif adalah :
1.      Kemampuan Kognitif : Termasuk di sini kecerdasan di atas rata-rata, kemampuan melahirkan gagasan-gagasan baru, gagasan-gagasan yang berlainan, dan fleksibilitas kognitif
2.      Sikap yang terbuka : orang kreatif mempersiapkan dirinya menerima stimuli internal maupun eksternal.
3.      Sikap yang bebas, otonom, dan percaya pada diri sendiri : orang kreatif ingin menampilkan dirinya semampu dan semaunya, ia tidak terikat oleh konvensi-kovensi. Hal ini menyebabkan orang kreatif sering dianggap “nyentrik” atau gila.
Selain faktor lingkungan psikososial, beberapa peneliti menjukan adanya faktor situasional lainnya. Maltzman menyatakan adanya faktor peneguhan dari lingkungan. Dutton menyebutkan tersedianya hal-hal istimewa bagi manusia kreatif, dan Silvano Arieti menekankan faktor isolasi dalam menumbuhkan kreativitas.
F.     Merancang Strategi Pesan